Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, berpendapat bahwa tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan oleh Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam memproses pencalonan Gibran sebagai Cawapres dalam Pilpres 2024.
Hal itu dikemukakan Yusril dalam menanggapi laporan Demas Brian Wicaksono, PH Hariyanto dan Rumondang Damanik kepada Dewan Kehormatan Pemilu (DKPP) yang mulai bersidang pada Jum’at 22 Desember 2024 yang lalu. Para Pelapor mendalilkan bahwa Terlapor para Komisioner KPU membiarkan Gibran mengikuti proses tahapan pencalonan dengan mengabaikan prinsip kepastian hukum.
Yusril yang juga pakar hukum tata negara dan filsafat hukum itu menilai persoalan mendasar untuk DKPP menilai ada tidaknya pelanggaran etik atas norma Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP tersebut adalah bagaimana menafsirkan kata “secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan”.
“Kalau ‘secara tegas’ ditafsirkan secara limitatif pada PKPU dalil tersebut seolah nampak benar adanya. Peraturan KPU secara tegas menyebutkan bahwa pendaftaran cawapres bisa diproses jika telah berusia 40 tahun ke atas. Jika proses tetap dilanjutkan, maka para komisioner bisa dikenakan sanksi hukum administrasi, di samping dijatuhi sanksi etik,” kata Yusril, dalam keterangan yang diterima, Minggu, 24 Desember 2023.
Namun, menurut Yusril, tafsir atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dapat dibatasi hanya pada PKPU saja. Di atas PKPU masih ada PP, UU dan UUD 1945.
“KPU memproses pencalonan Gibran, bukanlah suatu pembiaran yang merupakan tindakan pasif, tetapi merupakan suatu tindakan aktif. Para komisioner KPU itu bertindak demikian didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2024 yang telah mengubah ketentuan Pasal 117 UU Pemilu,” kata Yusril.
“Usia capres dan cawapres telah dimaknai oleh MK boleh berusia di bawah 40 tahun jika calon tersebut pernah dan/atau sedang menjabat dalam jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk Pilkada,” tambahnya.
Putusan MK itu berdasarkan Pasal 24C UUD 45 yang menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final dan berlaku serta merta sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. “Dengan adanya Putusan MK tersebut maka norma Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berubah sejak tanggal itu, tanpa harus menunggu Presiden dan DPR mengubah UU Pemilu,” tambah Yusril.
KPU memang belum dapat mengubah peraturannya sendiri karena terbentur dengan jadwal tahapan Pemilu yang harus dipatuhi. Selain itu, perubahan PKPU memerlukan konsultasi dengan DPR, sementara ketika itu DPR sedang reses.
Dalam situasi seperti itu, KPU tidak punya pilihan kecuali melaksanakan Putusan MK dan mengabaikan PKPU yang dibuatnya sendiri. Putusan MK mempunyai kedudukan yang setara dengan UU, sehingga kedudukannya lebih tinggi dari PKPU.
Dalam konteks seperti itu, KPU memilih untuk memilih untuk menaati Putusan MK yang kedudukannya lebih tinggi dari PKPU. Kalau KPU menaati peraturannya sendiri (yang belum diubah) dan mengabaikan Putusan MK, malah KPU bertindak melanggar prinsip kepastian hukum sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP No. 2/2017 dan mengacaukan tahapan-tahapan pelaksanaan Pemilu.
“Tindakan demikian yang justru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etik dan bisa ditjatuhi sanksi pemecatan oleh DKPP,” ujarnya.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, Yusril berkeyakinan DKPP akan menolak laporan Demas Brian Wicaksono, Imam Munandar dan Rumondang Damanik karena tidak beralasan hukum dan beralasan etik samasekali. KPU telah melaksanakan proses pencalonan Gibran berdasarkan Putusan MK, dan itu telah sesuai dengan prinsip kepastian hukum.
“Seluruh komisioner KPU tidak melakukan pelanggaran etik apapun sebagaimana didalilkan oleh para Pelapor,” ujarnya.
Yusril juga menegaskan bahwa Tim Pembela Prabowo-Gibran tidak akan maju sebagai pihak dalam perkara etik yang sedang diperiksa DKPP itu. “Kami maju sebagai Tergugat Intervensi dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat perihal yang hampir sama dengan apa yang sedang diperiksa oleh DKPP,” ujarnya.
Namun menurut Yusril, Prabowo dan Gibran tidak akan menjadi pihak dalam perkara etik ini. Demikian pula tim pembela yang ditunjuk paslon tersebut.
Yusril menambahkan bahwa perkara etik beda dengan perkara hukum. Perkara etik mengadili pelanggaran etik yan diduga dikakukan oleh komisioner KPU sebagai pribadi-pribadi.
“Sanksi yang dijatuhkan hanya mengenai orang yang diadili dan tidak berimplikasi kepada pihak lain. Beda dengan perkara hukum yang mengadili pelanggaran hukum dan bisa berimplikasi kepada pihak lain yang tidak diadili,” jelas Yusril
Lagi pula, lanjut Yusril, Peraturan DKPP No. 2/2017 tidak membuka peluang pihak ketiga untuk masuk ke dalam proses pemeriksaan perkara pelanggaran etik.
Sebagaimana diketahui, Demas Brian Wicaksono, PH Hariyanto dan Rumondang Damanik melaporkan KPU karena dinilai sewenang-wenang menetapkan Gibran sebagai cawapres mendampingi Prabowo.
Padahal komisioner KPU mengetahui bahwa pada saat proses pencalonan itu batas usia pasangan capres adalah 40 tahun. KPU baru mengubah peraturan itu setelah proses pencalonan selesai.
Para pelapor menyatakan, tindakan terlapor bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang secara imperatif diperintahkan oleh Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP No. 2/2017 tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu.