Jumat, 12 Januari 2024 – 11:59 WIB
Jakarta – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) mengecam tindakan Rusli Ahmad yang membuat surat dengan kop surat dan stempel palsu atas nama Ketua Pengurus Wilayah NU Riau. Padahal, PB NU telah membekukan kepengurusan NU Riau sejak Desember 2023.
Sebagai penggantinya, PB NU telah menunjuk Wakil Sekretaris Jenderal PB NU, Sulaiman Tanjung, sebagai karateker PW NU Riau. Penunjukkan Sulaiman sesuai dengan keputusan rapat harian Syuriyah dan Tanfidziyah pada 16 Desember 2023.
Rusli membuat surat undangan dengan stempel dan kop surat palsu pada 7 Juni 2024. Surat bernomor 009/PWNU-Riau/01/2023 itu hanya ditandatangani oleh Rusli. Dalam surat itu, Rusli mengundang pengurus PW NU dan kiai NU untuk hadir dalam acara deklarasi terhadap pasangan Prabowo-Gibran yang dilakukan pada Rabu, 10 Januari 2024.
“Surat undangan yang beredar atas nama PWNU Riau yang ditandatangani Rusli tidak sah. PB NU menganggap Rusli telah melakukan ‘tindakan brutal’ karena masih mengatasnamakan Ketua PW NU Riau, menandatangani surat sendirian, dan menggunakan kop surat serta stempel palsu,” kata Wakil Ketua Umum PB NU Amin Said Husni di Jakarta, Jumat, 12 Januari 2024.
Menurut Amin, Rusli tidak lagi menjabat sebagai Ketua PW NU Riau sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan daftar calon tetap anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Amin menegaskan, dalam kontestasi politik, NU telah memiliki panduan berpolitik yang merupakan keputusan Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ada sembilan pedoman yang wajib diperhatikan oleh warga Nahdliyin, antara lain:
1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita Bersama. Yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat;
3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;
4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama harus dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama;
6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah;
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dengan dalil apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;
8. Perbedaan pendapat di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’, dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama;
9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.