Rabu, 13 Maret 2024 – 15:04 WIB
Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI, Tito Karnavian menjelaskan alasan Dewan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur dipimpin Wakil Presiden RI. Hal itu tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ).
Menurut Tito, kewenangan itu diserahkan ke Wapres karena penanganan kawasan aglomerasi lintas menteri koordinator. Sementara, presiden bakal mengurusi hal-hal bersifat nasional yang begitu luas dan banyak.
“Dua saja kalau bicara menyelesaikan masalah kompleks lintas menko yaitu presiden dan wapres. Kita melihat itu bahwa presiden memiliki tanggungjawab nasional yang luas sekali maka perlu lebih spesifik ditangani wapres,” kata Tito dalam rapat pembahasan RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) Baleg di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 13 Maret 2024.
Tito menyampaikan, kewenangan wapres tersebut hanya lakukan harmonisasi dan koordinasi terkait program-program yang akan dijalankan di kawasan aglomerasi tersebut. Menurut dia, kewenangan itu, sama seperti peran wapres dalam percepatan pembangunan di Papua.
“Ini mirip seperti yang kita lakukan di Papua, dibentuk badan percepatan pembangunan papua yang tugasnya sama harmonisasi pemerintahan daerah,” jelas Tito.
Kata dia, nanti berjalan hampir dua tahun dipimpin wapres.
“Karena memang Papua memerlukan harmonisasi itu. Banyak sekali program-program di Pemerintahan Pusat tentang Papua entah masalah jalan, perhubungan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain tapi ada semacam harmonisasi yang belum optimal,” ujar mantan Kapolri ini.
Pun, Tito menambahkan, banyak persoalan yang menjadi permasalahan bersama Jakarta dan sekitarnya. Ia menyebut persoalan itu mulai dari lalu lintas, polusi, banjir, migrasi penduduk hingga masalah di bidang kesehatan.
Maka itu, dia mengatakan, perlu harmonisasi dan penataan serta evaluasi untuk wilayah Jakarta serta sekitarnya.
“Oleh karena itu, ada berbagai istilah yang saat itu muncul apakah membentuk namanya kawasan metropolitan Jakarta, Jabodetabek atau namanya megapolitan atau namanya aglomerasi,” kata Tito.
Tito mengatakan, saat itu sejumlah pihak menentang jika kawasan Jakarta dan sekitarnya dinamai megapolitan dan metropolitan karena dianggap seakan-akan dijadikan satu pemerintahan.
“Ini banyak ditentang karena nanti akan mengubah UU banyak sekali, UU Jabar, UU Banten, UU tentang Depok, UU tentang Bekasi, banyak sekali,” lanjut Tito.
“Sehingga akhirnya disepakati saat itu disebut saja dengan kawasan aglomerasi,” tuturnya.
Dia bilang tak ada keterikatan masalah administrasi pemerintahan. “Tapi, ini satu kawasan yang perlu diharmonisasikan program-programnya. Terutama yang menjadi common problem,” kata Tito.
Menurut Tito, kawasan aglomerasi prinsipnya yakni harmonisasi program perencanaan dan evaluasi secara reguler.
“Supaya on the track dan ini perlu ada yang melakukan itu yang melakukan sinkronisasi ini, maka karena ini problem tidak bisa ditangani satu menteri misalnya Bappenas sendiri enggak bisa, ditangani satu Menko pun tak bisa,” imbuhnya.