Seorang Tenaga Pendamping Profesional (TPP) diduga melanggar Pasal 240 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan tidak mengundurkan diri setelah mencalonkan diri sebagai calon legislatif pada Pemilu 2024. Pelanggaran ini menimbulkan polemik dari berbagai aspek, termasuk hukum tata negara dan hukum pidana. Guru Besar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, Prof. Dr. Mompang, menegaskan bahwa menerima penghasilan dari uang negara secara melawan hukum dapat dianggap tindak pidana korupsi.
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV Tahun 2006, tindak pidana korupsi meliputi perbuatan yang merugikan keuangan negara. Jika seseorang menerima gaji atau honor meskipun tidak mengundurkan diri setelah mencalonkan diri sebagai caleg, ia disarankan untuk mengembalikan uang yang telah diterima sejak ditetapkan sebagai calon tetap. Prof. Mompang menegaskan bahwa TPP yang mencalonkan diri sebagai legislatif seharusnya tidak dapat melanjutkan kontrak kerjanya jika melanggar Pasal 240 ayat (1) huruf k UU Pemilu.
Komisi V DPR RI mendukung rencana Mendes PDT Yandri Susanto untuk mengevaluasi kinerja Tenaga Pendamping Profesional yang terbukti mencalonkan diri sebagai legislator. Ini merupakan langkah yang tepat untuk menegakkan aturan dan memastikan kepatuhan terhadap hukum dalam konteks Pemilu.