Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan daerah. Menurutnya, MK seharusnya hanya memberikan pandangan terhadap konstitusionalitas atau inkonstitusionalitas suatu norma undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Namun, MK kini terlihat menciptakan norma baru, yang membuatnya berperan sebagai positive legislature. Hal ini mengundang keprihatinan atas kemungkinan buruknya masa depan demokrasi konstitusional dan negara hukum di Indonesia.
Rifqi juga mengekspresikan kekhawatiran jika proses revisi Undang-Undang Pemilu yang telah dijalankan oleh DPR dan pemerintah terganggu oleh adanya judicial review yang menghasilkan norma baru. Hal ini dapat menyebabkan ketidakmampuan lembaga negara untuk saling menghargai satu sama lain.
Terlepas dari itu, Rifqi melihat situasi ini sebagai kesempatan bagi semua pihak untuk memahami lebih dalam proses pembentukan hukum di Indonesia ke depan. Putusan MK yang memisahkan pemilihan presiden, anggota DPR, DPD, dan pemilihan kepala daerah merupakan langkah yang dikeluhkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). MK menyimpulkan bahwa beberapa pasal dalam UU Pemilu dan UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki ketentuan hukum mengikat secara bersyarat.
Dalam pertimbangannya, MK menetapkan agar pemungutan suara diadakan secara bersamaan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden dalam rentang waktu dua tahun hingga dua setengah tahun setelah pelantikan. Hal ini meniadakan pemilu serentak yang telah dikenal sebagai pemilu lima kotak.
Rifqi menegaskan perlunya DPR dan pemerintah untuk memantau dengan serius putusan MK terbaru ini, sebagai langkah preventif untuk menjaga proses pembentukan hukum yang berjalan dengan baik dan melakukan koreksi jika diperlukan.